Pages

Subscribe:

Selasa, 26 Juni 2012

Wisata Rawa Pening (Sumber Baru Klinting)

(Menurut Legenda)
..........
 
Alkisah di jaman dahulu kala, di Pulau Majeti ada seorang pertapa bernama Sang Aji Saka, dengan didampingi empat orang sahabatnya yaitu bernama: Dugo, Dora, Prayoga, Sembada. Terdorong oleh keinginan yang membara Sang Aji Saka ingin pergi ke pulau Angejawi (Jawa) dengan diikuti tiga sahabatnya Dugo, Prayoga dan Dora. Sedangkan Sembada ditugaskan di pertapaan menunggu keris pusaka Sang Aji Saka.
Pesan Sang Aji Saka kepada Sembada: sepergi saya ke pulau Jawa, siapapun orangnya tidak boleh mengambil keris pusaka, kecuali Sang Aji Saka sendiri. Dan Sembada teguh memegang pesan dan janji sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Aji Saka. Perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa. Pada waktu itu keadaan di pulau Jawa sedang terjadi malapetaka dan huru-hara, karma adanya seorang raja dari negara Medang Kamolan yang berjejuluk Prabu Dewata Cengkar, yang tak henti-hentinya memakan daging manusia laki-laki.
Sehingga kehidupan masyarakat di pulau Jawa semakin gonjang-ganjing, dan masyarakatnya banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan gunung-gunung untuk menyelamatkan jiwa raganya.
Konon perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa dan sudah berada di Kerajaan Medang Kamolan dan menginap di rumah seorang janda yang terkenal.
Kala itu Prabu Dewata Cengkar dengan seluruh punggawanya sampai di rumah janda cantik. Dan langsung rumah janda itu didobraknya. Perasaan janda sangat takut bukan kepalang, jangan-jangan sudah tahu kalau Sang Aji Saka menginap di rumahnya akan dimakannya. Kala itu Sang Aji Saka, maju perlahan-lahan dengan tenangnya menemui Prabu Dewata Cengkar dan menyambutnya dengan salam kehormatan. Seketika itu pula Prabu Dewata Cengkar dengan suara gemuruh menyuruhnya Sang Aji Saka untuk pulang ke Pulau Majeti, bila tidak mau pulang akan dimakan hari ini juga. Ternyata Sang Aji Saka tidak mau pulang dan siap menerima untuk dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar.
Dengan muram Prabu Dewata Cengkar melihat Aji Saka langsung pulang ke Istana Negara Medang Kamolan, dan para prajurit serta hulubalang segera menangkap Aji Saka untuk dibawa ke Medang Kamolan untuk diproses kematiannya. Sebelum Aji Saka dimakannya, terlebih dahulu diberinya kesempatan, Aji Saka untuk  menyampaikan sesuatu, karena Prabu Dewata Cengkar masih menghormati bahwa Aji Saka adalah seorang pertapa. Sang Aji Saka hanya meminta secuil tanah seluas destar (udeng) yang dipakai Aji Saka.
Jawab Sang Prabu dengan kerasnya: “Untuk apa secuil tanah tersebut?”. Jawab Aji Saka: “Akan dibuatnya lobang, yang nantinya untuk menimbun tulang-tulang yang tersisa” . Permintaan Aji Saka, tanah yang seluas destar itu harus berada di halaman alun-alun kerajaan yang berdekatan dengan pesisir lautan.
Keesokan harinya sekitar pukul 06.00 diadakan upacara kehormatan atas terkabulnya permintaan Aji Saka. Kala itu Aji Saka melepas destarnya dan diletakkan di halaman alun-alun, sedangkan Prabu Dewata Cengkar tidak boleh menyentuh destar tersebut. Aneh dan ajaibnya setelah destar diletakkan di alun-alun, destar tersebut semakin meluas dan melebar dan semakin berkembang. Apa yang hendak dikata, melebar dan meluasnya ‘Destar/Udengnya Sang Aji Saka’, Prabu Dewata Cengkar semakin terdesak oleh destar tersebut, sehingga seluruh tubuh Prabu Dewata Cengkar tercebur ke dalam samudra selatan atau Segara Kidul. Eloknya keadaan tubuh sang prabu dewata cengkar berubah menjadi “Seekor Buaya Putih”,  orang jawa menyebut “Bajul Putih”, dan menyatu dengan buaya-buaya putih yang jumlahnya ribuan. Dan Buaya Putih Prabu Dewata Cengkar diangkat menjadi rajanya.
Dulu menjadi raja manusia, sekarang menjadi raja buaya, kala itu Sang Aji Saka hanya termenung melihat kejadian alam di dalam samudra kidul. Sewaktu Sang Aji Saka berjalan-jalan dipinggir pantai segara kidul di sebelah alun-alun Kerajaan Medang Kamolan, tanpa ada tanda-tanda, menyeranglah Bajul Putih dengan dahsyatnya dan terjadilah peperangan hebat dengan Aji Saka.
Bajul Putih merasa tidak dapat mengimbangi kekuatan sang Aji Saka, segera seluruh bajul putih yang ribuan jumlahnya untuk mengeroyok Sang Saka. Seluruh buaya dapat dikalahkan dengan sekejap, yang masih hidup karena ketakutan banyak yang masuk ke dalam samudra kembali. Buaya-buaya putih yang sudah berbangkai ditumpuk sepanjang pantai dan diberinya nama Gunung Kapur Selatan. Kemenangan Sang Aji Saka menjadi kebanggaan seluruh rakyat Medang Kamolan, rakyat yang dulu takut dan sedih kini menjadi gembira dan merasa aman. Rakyat yang berlindung di hutan-hutan dan di gunung-gunung kini pulang ke kampung halamannya dan bertemu dengan sanak keluarganya. Dan Sang Aji Saka dinobatkan menjadi raja di Negara Medang Kamolan.
Gelar yang diberikan adalah “SANG MAHA PRABU AJI SAKA” Prabu Aji Saka memerintah dengan arif bijaksana, hambeg para amarta, dilengkapi dengan sabda pandita raja dan teguh memegang pusaraning keadilan. Damailah rakyat Medang Kamolan. Tepat pada hari Respati manis Sang Prabu Aji Saka menggelar Pasewakan agung yang dihadiri lengkap para menteri bupati dan brahmana serta senapati perang kerajaan Medang Kamolan. Tak ketinggalan pula sahabat kinasihnya yaitu Duga, Prayoga, dan Dora. Setelah memberikan ajaran-ajaran dan petunjuk kesegenap yang hadir di Pasewakan, Sang Prabu Aji Saka memerintahkan kepada Dora untuk berangkat ke Majeti untuk mengambil keris pusaka di pertapaan untuk dibawa pulang ke Medang Kamolan sebagai pusaka kerajaan. Tanpa meniawab sepatahpun, Dora mohon pamit dan langsung berangkat ke Majeti untuk menemui sahabatnya Sembada.
Sesampainya di pulau Majeti, Dora bertemu dengan Sembada yang sudah sudah lama berpisah dan kala itu juga saling melepas rasa kerinduannya.  Selanjutnya Dora menyampaikan seluruh pesan Sang Prabu Aji Saka tanpa ada yang tertinggal, terutama tentang tugasnya untuk mengambil keris di pertapaan. Sembada merasa kaget mendengar keris akan diambil oleh Dora karena sepengetahuannya Sang Aji Saka sendirilah yang akan  mengambil keris tersebut. Maka bersikukuhlah Sembada tidak akan memberikan keris kepada Dora. Terjadilah pertengkaran mulut diantara keduanya dan berlanjut pada pertempuran fisik. Akhirnya mereka berdua mati bersama dalam pertempuran sengit tersebut. Kematian ini oleh orang jawa disebut sebagai “‘mati sampyuh “.
Suasana alam perti berkabung, matahari tidak mengeluarkan sinar dibarengi dengan hujan gerimis kecil putih-putih. Kala itu juga Sang Aji Saka keluar dari istana, menatap langit, samodra kidul dan memanggil para brahmana untuk bersantiaji Keprabon. Di malam harinya Sang Prabu Aji Saka mendapat ilham Ha, Na, Ca, Ra, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Va, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Sampai sekarang di jaman modern seperti sekarang ini, kita orang Jawa harus selalu berfilsafat dengan ajaran: Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dst … yang berarti, apakah yang kita ketahui tentang Ha,Na,Ca … dst sebagai konsep atau idea ajaran kearifan orang jawa yang bersumber dari karya susastra jawa yang berlandaskan dengan keluhuran Cipta, Rasa, Karsa, Budi, Karya yang menjelma kedalam konsep pakarti berketahanan “Budaya Bangsa”. Sehingga orang suku Jawa yang rnenyebar di seluruh pelosok tanah air jangan sampai meninggalkan warisan leluhurnya.
Setelah sang prabu membeberkan tentang ilham tersebut ke seluruh yang hadir di pasewakan, sang maha prabu mengajak seluruh punggawa kerajaan untuk berinkognito (turba) atau turun ke desa-desa. Dengan warna baru sang prabu melihat kerajaan Mendang Kamolan yang ternyata keadaan negaranya “panjang punjung, pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, karta tata tur raharja”. Matahari terus bergulir menuju kodrati-Nya hari semakin sore, setelah istirahat sejenak, di kala itu segera Sang Prabu Aji Saka memerintahkan ke segenap yang ada di situasi itu untuk membuat tenda-tenda alami (bivoac) yang terbuat dari daun-daun, dan dari kayu yang alami untuk beristirahat untuk persiapan tenaga di esok harinya. Saat para hulubalang beristirahat total, di sore harinya Sang Prabu Aji Saka berkelana seorang diri sambil menikmati udara sore menatap cakrawala yang terselubung mendung tipis serta ditutupi kabut gerimis seperti salju semakin meresap ke sumsum tulang.
Sambil menikmati keindahan alam di Negara Medang Kamolan sampailah posisi Sang Prabu Aji Saka di desa yang paling terpencil hampir berdekatan di pinggir hutan, sayup-sayup terdengar lantunan lesung yang jumengglung yang kadang kala diiringi bertenggernya ayam jantan. Hati Sang Prabu semakin penasaran ingin mencari dimana tempat suara itu berada. Ternyata dilihatnya bahwa lesung itu ternyata seorang wanita cantik sedang menumbuk padi di gubuk belakang rumahnya, yang didampingi seekor ayam jantan. Sang Prabu Aji Saka semakin mendekat dan diintainya wanita penumbuk padi itu dari sela-sela lobang dinding bambu yang sudah setengah reot itu.
Dengan asyiknya wanita cantik itu menumbuk padi dan secara diam-diam Sang Prabhu Aji Saka melihat dan mengamati dari dekat wanita tersebut dan ternyata wanita ini memiliki kecantikan yang luar biasa  bagaikan dewi dari kahyangan. Begitu sang Prabhu Aji Saka melihat kecantikan wanita ini, maka munculah perasaan cinta yang tidak bisa tertahankan, dan pada akhirnya secara tidak sengaja Sang Prabhu Aji Saka mengeluarkan cairan dari tubuhnya yang membasahi tanah setempat.
Sang Prabu Aji Saka perlahan-lahan beranjak dari tempatnya berada, sambil melangkah dengan perasaan berat untuk meninggalkan tempat itu, kemudian sang prabu memberi kode aji saka yang digoreskan pada dinding bambu. Dan meninggalkan tempat tersebut, sebagai kenangan tempat wanita cantik yang menumbuk padi.
Sepeninggal Sang Aji Saka dari tempat itu, wanita cantik penumbuk padi tidak mengetahui kejadian di lingkungan lesung tersebut, kecuali si ayam jagonya yang menggodanya, maka dipukullah ayam jago itu dengan tangkai padi oleh sang prabu, sambil melompat setengah terbang si ayam jago bersuara keeoooook, jatuh tepat di tempat Sang Prabhu Aji Saka sewaktu mengintip wanita cantik penumbuk padi. Anehnya si ayam jago melihat sebutir putih seperti  beras itu lalu dipatuknya kemudian ditelannya dan kembali lagi ke lesung.
Dan disaat yang bersamaan wanita cantik ini berkemas-kemas akan meninggalkan tempatnya menumbuk padi. Sang putri masuk ke rumahnya dan langsung menuju ke pedharingan/genthong tempat menyimpan beras, setelah selesai pergilah sang putri ke sumur untuk mandi, dan kala itu bersamaan si ayam jago masuk ke dalam kandang, memang waktu itu hari sudah masuk ke saat senja menjelang malam.
Matahari sudah masuk ke cakrawala dan malam telah mengganti suasana waktu. Dengan bergesernya waktu, kala semakin malam sang putri mulai tidur, namun tidak dapat memejamkan mata (tidur-tidur ayam) entah apa yang terjadi sepertinya ada sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan. Semakin gaduh perasaan sang putri terdengarlah bertenggernya si ayam jago yang melengkapi semakin risaunya emosi sang putri. Si ayam jago semakin berulang-ulang bertengger dan terdengarlah bertenggernya si ayam jago dengan suara ngungkung lenturan panjang sepertinya dengan disertai seluruh tenaganya.
Dengan perasaan semakin gusar bangunlah sang putri dari tempat  tidurnya dan keluar mengambil segenggam daun kelapa kering dan disulutnya ujung daun kelapa itu. Perlahan sang putri menuju kandang ayam jagonya, ternyata si jago tidak lagi berada pada tempat pagakan/pangkringannya tetapi berada di tanah dengan keadaan “Ndekem”. Terkejut hati sang putri lalu di ambilnya si ayam jago dan diletakkan di pagakan tempat tidurnya. Anehnya selesainya sang putri meletakkan kembali si jago ke pagakan, ternyata tempat ndekemnya si ayam jago tadi ada sebutir telur putih besar lonjong sebesar telur angsa.
Dengan hati senang campur iba, aneh tapi nyata. Unik dan menarik dibawanva telur pulang dan dimasukkan ke dalam genthong tempat menyimpan beras. Tujuh hari kemudian, saat sang putri mengambil beras untuk ditanak, tangan sang putri menyentuh sesuatu dan sang putri tanpa rasa takut sama sekali, malah dibelai dengan mesranya. Dengan perasaan iba sang putri melihatnya, ternyata seekor ular sowo kembang yang berbau wangi, dengan rasa cinta diambilnya ular itu di pinang dan dibawa ke tempat tidurnya. Sang putripun tidak jadi untuk menanak nasi, seolah sudah merasa kenyang. Di manja, dipeluk, dan diciumnya, si sowo kembang dengan tak henti-hentinya seolah seperti sang bayi yang baru lahir dari kandungan sang putri.
Di pagi hari si sowo kembang, ingin keluar untuk melihat suasana dan diikuti oleh sang putri sebagai pengganti ibunya. Sampailah sowo kembang di tempat  lesung dan bermain-main seolah-olah ada sesuatu bagi dirinya. Kala itu sowo kembang tidak mau pindah dari dinding reot, dan di tempat itulah si sowo kembang dapat berbicara layaknya manusia, dan bertanyalah si sowo kembang kepada sang putri. Semula mau melontarkan pertanyaan ini agak termangu-mangu, tetapi terdorong rasa yang kuat akhirnya terlontarlah sebuah pertanyaan dengan nada yang datar, “Sang putri, siapakah sebenarnya ayahku ini?”. Dengan menoleh ke dinding reot itu sang putri menjawab, wahai ular sawo kembang yang perkasa, ayahmu adalah seorang pertapa agung, di gunung urung-urung yang bernama AJI SAKA, yang sebenarnya petapa dan juga adalah seorang raja. Dengan tanpa dipikir panjang si sowo kembang langsung mohon doa restu untuk menuju ke gunung urung-urung seketika di lingkungan pertapaan berbau wangi, dan terkejut hati sang Aji Saka.
Dengan tanpa menunggu waktu lama datanglah si sowo kembang menghadap sang maha muni, dengan menghaturkan sembah sungkem, bersamaan itu pula keluarlah suara bernada geram Sang Aji Saka, “Siapakah kamu ini?”. Jawab Sowo Kembang: “Saya diperintah oleh ibu penumbuk padi untuk datang kesini, sebab sang pertapa adalah ayahku”.  Mendengar putri penumbuk padi terkejutlah sang Aji Saka dan teringat terhadap peristiwa lamanya. Jadi kedatanganmu kesini sebenarnya mau apa? Kedatangan saya kesini adalah:
  1. Dengan hormat, Sang Pertapa untuk memberiku sebuah nama, agar aku senang dengan nama itu.
  2. Sang Pertapa berkenan untuk mengakui bahwa hamba adalah keturunan dari sang maha muni.
Sang Aji Saka memegang leher sowo kembang dan dikalungkannya sebuah klinthing dan diberilah nama “NAGA BARU KLINTHING”, dan bersabdalah sang wiku “asma kinarya japa”. Dan si Naga Baru Klinthing akan diakui sebagai anak apabila tubuhnya dapat melingkari gunung urung-urung ini dengan tuntas, artinya kepala dan ekornya dapat bertemu menjadi satu (jawa: tepung gelang). Dengan bangga berangkatlah Naga Baru Klinthing setelah mohon doa restu untuk melingkari gunung urung-urung tersebut. Dengan penuh perjuangan untuk melingkari gunung urung-urung ternyata setelah di depan Sang Aji Saka bertapa ternyata Naga Baru Klinthing tidak dapat mempertemukan antara ekor dan kepalanya. Dengan cerdiknya Naga Baru Klinthing menjulurkan lidahnya dan ternyata dapat berhasil. tapi apa yang terjadi. begitu Sang Aji Saka melihatnya, seketika diambilnya keris yang ampuh langsung dipenggalah lidah si Naga Baru Klinthing dan putus seketika.
Potongan lidah Naga Baru Klinthing melesat ke angkasa dan suara alam mengiringi dengan tanda gaib yang mengerikan. Naga Baru Klinthing setelah terpenggal lidahnya, tubuhnya bergerak di dalam tanah di sekitar gunung urung-urung yang akhirnya tanah menjadi gundhukan (bukit kecil) dan langsung di malam itu diiringi oleh suara halilintar serta kilat thathit yang mengerikan, bersamaan suara guruh di angkasa yang mencekam, dari jauh suara gelombang tsunami samudra yang seolah menggulung jagad. Sirepnya suara alam yang mengerikan tadi, hadirlah “MANUSIA BAJANG” , (jawa bocah bajang, bocah kerdil) akan berkelana di sekitar desa.
Konon masyarakat desa tersebut akan merayakan hari bersih dusun, dan beramai-ramailah masyarakat dusun untuk membersihkan halaman rumah dan lorong-lorong jalan, serta lingkungan gundhukan tanah yang dekat dengan jalan itupun diratakan agar tidak menutupi jalan. Saat seorang pekerja yang menebang kayu di sekitar gunung urung-urung, memecok akar kayu keluarlah darah yang memancar, dan terkejutlah orang-orang di dekatnya. Kala itu membuat penasaran seluruh orang-orang yang bekerja gotong royong tersebut. Dan dibongkarlah seluruh gundhukan tanah yang melingkar, ternyata daging binatang besar.
Tidak berpikir panjang di potong-potonglah daging tersebut untuk dibawa ke rumah masing-masing persiapan untuk pesta di hari bersih dusun. Masyarakat sangat senang hatinya karena diacara bersih dusun kali ini, lauk pauknya dengan serentak menggunakan daging. Di saat masyarakat memasak daging didatangi oleh manusia bajang, dari rumah ke rumah, yang dengan sengaja meminta makan lengkap dengan lauk pauknya. Ternyata tidak satu keluargapun yang mau memberi makan kepada si bocah bajang tersebut, bahkan diusirnya. Berjalan dengan tenanglah bocah bajang dari rumah ke rumah, dan sampailah ke rumah yang berada di sudut desa terpencil tepatnya di pinggir desa di sela-sela hutan kecil dan rawa-rawa. Dialah si janda tua renta, dalam gubuk kecil yang rajin dan bersih dipagari dengan bunga-bunga indah juga terhiasi oleh kukusnya dupa sesaji. Janda tua sedang memasak daging yang nantinya akan dibawa untuk bersih dusun, datanglah bocah bajang meminta makan lengkap dengan lauk pauknya.
Dengan lahapnya nasi dihabiskan, tak sepotong dagingpun ada yang dimakannya, dan ditinggalkan di dalam piring sambil berpesan, bersiap-siaplah sang nenek dengan enthong yang bertangkai panjang serta lesung yang nanti akan besar manfaatnya. Bersama kata akhir itu menghilanglah si bocah bajang tersebut. Si nenek tua merenung sebentar, sebenarnya si nenek adalah wanita ahli bersemedi, langsung mohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberinya perlindungan. Di waktu itu malam sudah berlalu, di pagi harinya seluruh masyarakat mulai berkumpul di balai dusun untuk melaksanakan upacara bersih dusun, lengkap dengan sesaji, makanan serta pauk pauknya.
Dikala ujub kenduri sedang berlangsung, datanglah si bocah bajang dengan suara lantang “Hentikan dulu ujub kenduri ini”, sebab akan diberinya sebuah sayembara untuk memeriahkan acara bersih dusun tersebut. Sayembaranya adalah: “barang siapa yang dapat mencabut lidi yang saya tancapkan di halaman balai dusun ini, saya bersedia untuk dipotong-potong badannya, tetapi bila tidak dapat mencabutnya seluruh masakan daging ini akan saya rampas semua tanpa terkecuali”.
Masyarakat yang sedang melaksanakan kenduri bersih dusun menjadi berang dan marah mendengar sayembara si bocah bajang tersebut. Keluarlah seluruh masyarakat yang sedang berpesta pora ke halaman balai dusun, dan melingkari si bocah bajang berusaha untuk mencabut lidi yang ditancapkannya. Setelah satu persatu mencabut, tak ada yang berhasil juga. Akhirnya berkelompoklah masyarakat untuk mencabut lidi yang tertancab. namun hasilnya pun sia-sia. Dengan serentak masyarakat menyuruhnya si bocah bajang untuk segera mencabut lidi yang tertancap. Perasaan haru bercampur gundah, dengan tangan kirinya lidi itu dipegangnya. Wajah menatap ke langit, sambil mengucap doa pelan-pelan lidi itu dicabutnya. Tercabutlah lidi itu, dan seketika keluarlah sumber air yang jernih mengalir kearah barat. Seluruh masyarakat menjadi malu hati, karena melihat berhasilnya si bocah bajang mencabut lidi itu. Akhirnya dikeroyoklah bocah bajang, dan larilah perlahan meninggalkan halaman balai dusun. Semakin dikeroyok semakin banjir pula sumber air tersebut. Dengan banjirnya air dari sumber mata air yang ajaib ini, seolah “BANJIR BANDANG, DAN BANYAK MANUSIA YANG TENGGELAM”, menjadi korban, yang masih hidup berteriak minta tolong. Kala itu pula si bocah bajang menghilang dari permukaan, dan akan rnenyatu dengan lidah Naga Baru Klinthing yang melesat ke angkasa, bersama itu pula hilangnya lauk pauk entah kemana. Hanya janda tua yang tempo hari memberi makan kepada si bocah bajang yang selamat karena menuruti pesannya untuk naik lesung dengan berdayung enthong sambil menanti surutnya air bah.
Ternyata setelah air banjir surut lesung berhenti di sebelah sumber mata air, dan si nenek tua menamakan sumber mata air tersebut “SUMBER BARU KLINTHING” dan terkenal sampai sekarang legendanya di Dusun Bunut, Desa Bringin, Kecamatan Pare Kabupaten Kediri, PropinsiJawa Timur.

Wisata Rawa Pening (Legenda Baru)

Wahh ada yang baru nie..
yang gak boleh dilewatin.....
ternyata di legenda yang laen ada lo cerita tentang "Ular Baru Klinting" juga,
mari kita simak sama-sama....

Tersebutlah keadaan anak gadis petani yang tinggal di pondok dalam hutan yang pernah disinggahi Aji Saka ketika baru saja mendarat di Pulau Jawa. Sepeninggal Aji Saka, gadis tadi menjadi hamil akibat memangku pisau milik tamunya itu.
Mungkin tangkai pisau yang hilang itulah yang kemudian menjelma menjadi kandungan dalam perut gadis tersebut.
Setelah genap usia kandungan gadis tersebut maka lahirlah anaknya. Tetapi yang mengherankan anak yang lahir dari rahim gadis anak petani tadi tidak berujud bayi seperti halnya anak manusia pada umumnya melainkan berujud seekor anak ular.
Sebenarnya keluarga petani itu merasa malu mempunyai cucu seekor ular itu tetapi apa boleh buat, mengkin sudah suratan takdirnya harus begitu, demikian piker mereka. Untunglah mereka tinggal di tengah hutan, jauh dari keramaian manusia sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut.
Ular itu dipelihara baik-baik oleh keluarga petani dan dinamakan Baruklinting. Setelah dewasa berpikirlah ia mengapa di pondok yang mereka tempati itu penghuninya hanya terdiri dari kakek, nenek, ibunya, dan dia sendiri. Lalu di manakah ayahnya dan bagaimana ujud ayahnya itu, apakah berbentuk manusia atau ular? Sampai berapa lama Baruklinting belum berhasil mengetahui rahasia keluarganya itu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya tentang masalah tersebut. Dari ibunya itu didapatlah keterangan tentang dirinya dan asal mulanya ia lahir, yaitu sejak Aji Saka bertamu di pondoknya. Dan diceriterakan pula bahwa ayahnya, Si Aji Saka kini telah menjadi raja besar yang memerintah negeri Medangkamulan bergelar Prabu Jaka. Dari keterangan ibunya itu tahulah kini bahwa ia sebenarnya adalah anak seorang raja. Maka bermaksudlah ia akan menemui ayahnya. Ketika ia mengemukakan keinginannya tersebut kepada seisi pondok mula-mula tidak disetujui. Mereka khawatir kalau Prabu Jaka tidak mengakui Baruklinting sebagai anaknya. Tetapi Baruklinting terus mendesak sehingga akhirnya mereka tidak melarang lagi. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Baruklinting menuju istana Prabu Jaka. Sampai di pintu gerbang istana, Baruklinting ditanya oleh penjaga. Kepada penjaga itu diterangkan bahwa sesungguhnya ia adalah putera Prabu Jaka dan maksud kedatangannya itu adalah untuk menemui ayahnya yang selama ini belum pernah ia lihat.
Penjaga itu lalu menghadap Prabu Jaka untuk melaporkan kedatangan Baruklinting. Sang Prabu tatkala menerima laporan dari penjaga lalu teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu yaitu ketika hilangnya tangkai pisau dari pangkauan anak gadis pemilik pondok yang ditumpanginya. Dalam hatinya Sang Prabu telah menduga bahwa ular yang datang itu adalah anaknya, tetapi beliau merasa malu untuk mengakui ular itu sebagai anaknya. Kemudian dititahkan kepada penjaga agar Baruklinting dibawa menghadap. Penjaga itu lalu menyembah, dan sesudah it uterus mundur. Dan tidak berapa lama kemudian penjaga itu telah menghadap lagi bersama Baruklinting. Sang Prabu Jaka menanyai Baruklinting, siapa ia sebenarnya serta apa maksud kedatangannya. Maka sembah Baruklinting, “Ampun Tuanku, menurut penuturan ibu hamba, yang kini tinggal di sebuah pondok dalah hutan hamba adalah putera paduka. Menurut ceriteranya dulu beberapa tahun yang lalu paduka pernah singgah di pondok tempat tinggal ibuku. Kemudian paduka meminjamkan pisau kepada ibuku dengan pesan agar pisau itu jangan sampai diletakkan di pangkuannya. Rupanya ibuku lupa akan pesan paduka itu karena dengan tidak disengaja pisau itu sehabis dipakai lalu diletakkan di pangkuannya. Sesudah itu terjadi suatu keajaiban, yaitu pisau tadi hilang tangkainya. Pisau yang tidak bertangkai itu lalu paduka ambil kemudian paduka terus meninggalkan pondok. Sepeninggal paduka, ibuku hamil dan setelah genap bulannya maka lahirlah hamba yang berujud ular ini. Adapun maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini ialah ingin bertemu dengan paduka ayahanda karena seumur hidup belum pernah melihat ayahanda.”
Dalam hati Sang Prabu mengetahui kebenaran kata-kata Baruklinting tersebut tetapi beliau malu kepada para prajurit karena tidak wajar seorang manusia beranak ular. Maka untuk siasat menyingkirkan Baruklinting, Sang Prabu bersabda, “Jikalau engkau menghendaki agar saya akui sebagai anak maka terlebih dahulu engkau harus membuktikannya dengan suatu perbuatan yang sepadan dengan derajatmu sebagai seorang putera raja. Adapun tugas yang harus kau jalankan untuk pembuktian itu ialah kau harus mengalahkan buaya putih yang hingga saat ini menjadi penguasa lautan selatan. Ketahuilah bahwa buaya putih itu adalah musuh besarku dan ia telah bertekad akan membinasakan diriku.”
Selanjutnya Sang Prabu masih mengajukan syarat-syarat lagi, antara lain:
1.       Baruklinting pada waktu pergi dan pulang dari lautan selatan nanti harus menempuh jalan di bawah tanah dengan alas an supaya tidak merusak tanaman milik anak negeri.
2.       Jika sudah berhasil mengalahkan buaya putih nanti maka ia harus membawa pulang kepala musuhnya itu beserta air laut, rumput laut dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Karena Baruklinting ingin sekali diakui sebagai putera Sang Prabu maka tugas yang berat it uterus disanggupi. Bagi dia pekerjaan semacam itu dapat dilaksanakannya.
Dalam hati Sang Prabu berkata, “Tentunya Baruklinting tidak akan mampu mengalahkan buaya putih yang sakti itu. Ia pasti binas dikalahkan buaya putih penjelmaan Dewatacengkar itu. Dengan demikian ia tidak akan kembali ke sini lagi. Berarti saya bebas, tidak perlu memenuhi janjiku.”
Adapun Baruklinting setelah menerima titah Sang Prabu terus berangkat ke lautan selatan lewat bawah tanah. Ia tidak merasa gentar menghadapi pekerjaan berat yang akan dilakukannya itu. Singkatnya, ia telah berhasil menemukan buaya putih dan terjadi perang tanding. Pertempuran itu cukup sengit sehingga menimbulkan gelombang laut yang besar. Akhirnya dengan suatu siasat Baruklinting berhasil mengalahkan buaya putih itu yang kemudian dibunuh. Kepalanya terus dipotong untuk dipersembahkan kepada Sang Prabu. Bersama dengan kepala itu dibawa pula air laut, rumput laut, dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Setelah syarat-syarat itu terkumpul baruklinting lalu bersiap-siap akan kembali ke Keraton Medangkamulan. Seperti halnya pada waktu berangkat maka pada waktu pulang Baruklinting juga menempuh jalan bawah tanah. Karena terlalu lelah, dalam melakukan perjalanan jauh tambahan pula habis berkelahi serta membawa barang yang berat, maka Baruklinting bermaksud akan istirahat di atas tanah. Ia muncul di suatu tempat di permukaan bumi dan tempat itu lalu menjadi sumber penggaraman berupa belik atau sendang. Sampai sekarang tempat ini masih dapat dilihat letaknya di Desa Yono, Kecamatan Tawangharjo. Kabarnya di tempat ini tumbuh pohon luntas dan rumput grinting yang asalnya dari lautan selatan.
Setelah puas beristirahat, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah lagi akan meneruskan perjalanan. Ia berjalan ke arah timur dan sampai di suatu tempat. Di sini ia menjadi bingung dikiranya tempat itu tepat di bawah halaman istana Medangkamulan sehingga ia muncul di situ. Ternyata tempat itu bukan yang dimaksud. Tempat munculnya yang kedua kalinya ini menjadi sumber garam pula, sekarang dikenal dengan nama Desa Crewek. Baruklinting setelah mengetahui bahwa tempat tersebut bukan yang dimaksdu, lalu masuk lagi ke dalam tanah untuk meneruskan perjalanannya sehingga melampaui tempat yang sebenarnya akan dituju (ke banjur, Jawa) karena tidak tahu. Tempat munculnya yang ketiga kalinya ini disebut Desa banjur, berasal dari perkataan ke banjur. Desa ini kemudian menjadi sumber garam. Karena merasa keliru lagi, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah akan terus mencari. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh akhirnya ia merasa sangat lelah dan tidak kuat meneruskan perjalanan lagi. Ia memutuskan untuk muncul ke permukaan bumi lagi dengan maksud akan beristirahat (bahasa Jawa kekuwon). Kemudian tempat munculnya yang terakhir ini dinamakan Desa Kuwu. Nama ini berasal dari perkataan ke kuwu. Desa Kuwu itu kemudian menjadi sumber garam pula dan merupakan sumber garam yang terbesar di antara sumber-sumber yang lain. Sampai di sini baruklinting tidak meneruskan perjalanannya lagi ke Medangkamulan. Rupanya ia telah menyadari bahwa Sang Prabu menitahkan untuk melakukan pekerjaan yang berat itu hanyalah suatu siasat belaka untuk menyingkirkan dirinya.
 
 
Demikianlah asal mula terjadinya sumber garam di daerah Kuwu dan sekitarnya yang konon ada hubungannya dengan perjalanan Aji Saka ke Tanah Jawa. Sampai sekarang sumber garam itu masih tetap berproduksi dan merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sedangkan nama-nama desa penghasil garam yang disebut dalam cerita ini pun sampai sekarang masih ada.
Adapun Desa Kuwu terletak di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah. Sumber garam ini oleh masyarakat setempat biasa di Bledug Kuwu, karena adanya suara semburan lumpur dari dalam tanah.

Sepintas emang mirip porong sidoarjo yang terkenal dengan lumpur panas lapindonya..
tapi harus dibedain yaa...
sii air dari semburan ini bisa dijadiin garam dan yang disidoarjo gak bisaa....
gitu ajalah cara mudahnya,

Album Foto





Semoga bermanfaat dan nambah pengetahuan....

Rabu, 20 Juni 2012

Wisata Rawa Pening

Terdapat banyak tempat wisata diarea Rawa Pening. Wisata-Wisata Rawa Pening terbentang hampir disetiap pinggiran danau rawa pening.


  • DiTuntang terdapat tempat pemandian yang bernama "Pemandian Rawa Permain"
    disitu anda dapat menikmati panorama keindahan rawa pening juga dapat berrenang dengan tenang di pemandian umum Rawa Permai. Bila anda sudah merasa sedikit bosan anda bisa keluar dari area pemandian tersebut kearah kiri, tepatanya dibawah jembatan tuntang. Anda bisa rasakan sensasi memancing yang begitu asiik di bantaran sungai tuntang tersebut.




  • DiBanyuBiru lebih banyak terdapat tempat wisata yang sangat populer dan sangat banyak pilihan. "Bukit Cinta" mungkin tak asing ditelingga anda jika anda sudah terbiasa dengan daerah ambarawa. Disana terdapat Wisata air yang disitu terdapat patung Ular besar yang dinamakan "Ular Baru Klinting". Anda dapat berfotoria disana tentunya dengan suguhan pemandangan yang indah pula. "Pemandian Umum Muncul" yang ini juga tak kalah populernya dengan "Pemandian Rawa Permai" disini selain anda bisa berrenang dengan santai. Anda juga bisa membeli oleh-oleh belut yang dapat anda pilih mau diolah dengan cara digoreng garing dan renyah atau digoreng basah. Ada pula Sungai Muncul yang biasanya digunakan untuk mencuci berbagai properti seperti klasa,karpet danlain-lain.




    wahhhh masih banyakk lagi yang lain......
    tapi tunggu di postingan berikutrnya yaa.....